A. Arti Definisi / Pengertian Penyimpangan Sosial (social deviation)
1. Menurut Robert M. Z. Lawang penyimpangan perilaku adalah
semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem
sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sitem itu
untuk memperbaiki perilaku menyimpang.
2. Menurut James W. Van Der Zanden perilaku menyimpang yaitu
perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tercela
dan di luar batas toleransi.
Menurut Lemert penyimpangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer
adalah suatu bentuk perilaku menyimpang yang bersifat sementara dan
tidak dilakukan terus-menerus sehingga masih dapat ditolerir masyarakat
seperti melanggar rambu lalu lintas, buang sampah sembarangan, dll.
Sedangkan penyimpangan sekunder yakni perilaku menyimpang yang tidak
mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali
seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, dan
lain-lain.
B. Macam-Macam / Jenis-Jenis Penyimpangan Individual (individual deviation)
Penyimpangan individual atau personal adalah suatu perilaku pada
seseorang dengan melakukan pelanggaran terhadap suatu norma pada
kebudayaan yang telah mapan akibat sikap perilaku yang jahat atau
terjadinya gangguan jiwa pada seseorang.
Tingkatan bentuk penyimpangan seseorang pada norma yang berlaku :
1. Bandel atau tidak patuh dan taat perkataan orang tua untuk
perbaikan diri sendiri serta tetap melakukan perbuatan yang tidak
disukai orangtua dan mungkin anggota keluarga lainnya.
2. Tidak mengindahkan perkataan orang-orang disekitarnya yang
memiliki wewenang seperti guru, kepala sekolah, ketua rt rw, pemuka
agama, pemuka adat, dan lain sebagainya.
3. Melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku di lingkungannya.
Melakukan tindak kejahatan atau kerusuhan dengan tidak peduli terhadap
peraturan atau norma yang berlaku secara umum dalam lingkungan
bermasyarakat sehingga menimbulkan keresahan. ketidakamanan,
ketidaknyamanan atau bahkan merugikan, menyakiti, dll.
Macam-macam bentuk penyimpangan indivisual :
1. Penyalahgunaan Narkoba.
2. Pelacuran.
3. Penyimpangan seksual (homo, lesbian, biseksual, pedofil, sodomi, zina, seks bebas, transeksual).
4. Tindak Kriminal / Kejahatan (perampokan, pencurian, pembunuhan, pengrusakan, pemerkosaan, dan lain sebagainya).
5. Gaya Hidup (wanita bepakaian minimalis di tempat umum, pria beranting, suka berbohong, dsb).
C. Macam-Macam / Jenis-Jenis Penyimpangan Bersama-Sama / Kolektif (group deviation)
Penyimpangan Kolektif adalah suatu perilaku yang menyimpang yang
dilakukan oleh kelompok orang secara bersama-sama dengan melanggar
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga menimbulkan
keresahan, ketidakamanan, ketidaknyamanan serta tindak kriminalitas
lainnya.
Bentuk penyimpangan sosial tersebut dapat dihasilkan dari adanya
pergaulan atau pertemanan sekelompok orang yang menimbulkan solidaritas
antar anggotanya sehingga mau tidak mau terkadang harus ikut dalam
tindak kenakalan atau kejahatan kelompok.
Bentuk penyimpangan kolektip :
1. Tindak Kenakalan
Suatu kelompok yang didonimasi oleh orang-orang yang nakal umumnya
suka melakukan sesuatu hal yang dianggap berani dan keren walaupun bagi
masyarakat umum tindakan trsebut adalah bodoh, tidak berguna dan
mengganggu. Contoh penyimpangan kenakalan bersama yaitu seperti aksi
kebut-kebutan di jalan, mendirikan genk yang suka onar, mengoda dan
mengganggu cewek yang melintas, corat-coret tembok orang dan lain
sebagainya.
2. Tawuran / Perkelahian Antar Kelompok
Pertemuan antara dua atau lebih kelompok yang sama-sama nakal atau
kurang berpendidikan mampu menimbulkan perkelahian di antara mereka di
tempat umum sehingga orang lain yang tidak bersalah banyak menjadi
korban. COntoh : tawuran anak sma 70 dengan anak sma 6, tawuran penduduk
berlan dan matraman, dan sebagainya.
3. Tindak Kejahatan Berkelompok / Komplotan
Kelompok jenis ini suka melakukan tindak kejahatan baik secara
sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. Jenis penyimpangan ini bisa
bertindak sadis dalam melakukan tindak kejahatannya dengan tidak segan
melukai hingga membunuh korbannya. Contoh : Perampok, perompak, bajing
loncat, penjajah, grup koruptor, sindikat curanmor dan lain-lain.
4. Penyimpangan Budaya
Penyimpangan kebudayaan adalah suatu bentuk ketidakmampuan seseorang
menyerap budaya yang berlaku sehingga bertentangan dengan budaya yang
ada di masyarakat. Contoh : merayakan hari-hari besar negara lain di
lingkungan tempat tinggal sekitar sendirian, syarat mas kawin yang
tinggi, membuat batas atau hijab antara laki-laki dengan wanita pada
acara resepsi pernikahan, dsb.
MASALAH PENYIMPANGAN SOSIAL
Dasar pengakategorian penyimpangan didasari oleh perbedaan perilaku,
kondisi dan orang. Penyimpangan dapat didefinisikan secara statistik,
absolut, reaktifis atau normatif. Perbedaan yang menonjol dari keempat
sudut pandang pendefinisian itu adalah pendefinisian oleh para reaktifis
atau normatif yang membedakannya dari kedua sudut pandang lainnya.
Penyimpangan secara normatif didefinisikan sebagai penyimpangan terhadap
norma, di mana penyimpangan itu adalah terlarang atau terlarang bila
diketahui dan mendapat sanksi. Jumlah dan macam penyimpangan dalam
masyarakat adalah relatif tergantung dari besarnya perbedaan sosial yang
ada di masyarakat. Masyarakat dan Penyimpangan Penyimpangan adalah
relatif terhadap norma suatu kelompok atau masyarakat. Karena norma
berubah maka penyimpangan berubah. Adalah sulit untuk menentukan suatu
penyimpangan karena tidak semua orang menganut norma yang sama sehingga
ada perbedaan mengenai apa yang menyimpang dan tidak menyimpang. Orang
yang dianggap menyimpang melakukan perilaku menyimpang. Tetapi perilaku
menyimpang bukanlah kondisi yang perlu untuk menjadi seorang penyimpang.
Penyimpang adalah orang-orang yang mengadopsi peran penyimpang, atau
yang disebut penyimpangan sekunder. Para penyimpang mempelajari peran
penyimpang dan pola-pola perilaku menyimpang sama halnya dengan orang
normal yang mempelajari peran dan norma sosial yang normal. Untuk
mendapatkan pemahaman penuh terhadap penyimpangan diperlukan pengetahuan
tentang proses keterlibatan melakukan perilaku menyimpang dan peran
serta tindakan korbannya. Penyimpangan Sebagai Suatu Proses Perilaku
menyimpang adalah perilaku manusia dan dapat dimengerti hanya dengan
kerangka kerja perilaku dan pikiran manusia lainnnya. Seseorang menjadi
penyimpang sama halnya dengan seseorang menjadi apa saja, yaitu dengan
proses belajar norma dan nilai suatu kelompok dan penampilan peran
sosial. Ada nilai normal dan ada nilai menyimpang. Perbedaannya adalah
isi nilai, norma dan peran. Melihat penyimpangan dalam konteks norma
sosial membuat kita dapat melihat dan mengintepretasikan arti
penyimpangan bagi penyimpang dan orang lain. Peran penyimpang adalah
peran yang kuat karena cenderung menutupi peran lain yang dimainkan
seseorang. Lebih jauh lagi, peran menyimpang menuruti harapan perilaku
tertentu dalam situasi tertentu. Pecandu obat menuruti harapan peran
pecandu obat seperti juga penjahat menuruti harapan peran penjahat.
Penyimpangan biasanya dilihat dari perspektif orang yang bukan
penyimpang. Pengertian yang penuh terhadap penyimpangan membutuhkan
pengertian tentang penyimpangan bagi penyimpang. Studi observasi dapat
memberikan pengertian langsung yang tidak dapat diberikan metode
lainnya. Untuk menghargai penyimpangan adalah dengan cara memahami,
bukan menyetujui apa yang dipahami oleh penyimpang. Cara-cara para
penyimpang menghadapi penolakan atau stigma dari orang non penyimpang
disebut dengan teknik pengaturan. Tidak satu teknik pun yang menjamin
bahwa penyimpang dapat hidup di dunia yang menolaknya, dan tidak semua
teknik digunakan oleh setiap penyimpang. Teknik-teknik yang digunakan
oleh penyimpang adalah kerahasiaan, manipulasi aspek lingkungan fisik,
rasionalisasi, partisipasi dalam subkebudayaan menyimpang dan berubah
menjadi tidak menyimpang. Teori-Teori Individu tentang Penyimpangan
Pendekatan individu tentang penyimpangan mengkaitkan proses menjadi
penyimpang dengan sesuatu yang ada dalam diri manusia, psikologi atau
biologi. Teori individual sama dengan model pandangan medis yang
mengkaitkan penyimpangan dengan kesakitan (illness), yang membutuhkan
perawatan dan penyembuhan. Pandangan psikiatri dan psikoanalisis adalah
sama dalam hal mencari akar penyimpangan pada pengalaman masa kecil,
tetapi pandangan psikoanalisis lebih menekankan keterbelakangan dalam
perkembangan kepribadian, konflik seksual dan alam pikiran bawah sadar.
Tetapi tidak ada metode yang dapat membuktikan perbedaan yang konsisten
antara penyimpang dan non penyimpang berdasarkan kepribadian bawaan.
Studi pelanggaran terhadap norma sosial, atau pelanggaran peraturan
tidak hanya dipelajari oleh sub bidang sosiologi penyimpangan. Bidang
analisis sosiologi lainnya yang juga mengkaji masalah tentang
pelanggaran tersebut oleh para sosiolog disebut sebagai masalah sosial
dan kriminologi. Perbedaan dalam hal analisisnya dengan studi
penyimpangan sosial digambarkan dalam gambar berikut ini. Kriminologi
Masalah sosial adalah daerah penelitian yang umum dan termasuk di
dalamnya penyimpangan sosial dan kriminologi. Masalah sosial adalah
isu-isu sosial yang oleh banyak orang diberikan penjelasan dan resolusi
yang berbeda-beda atau dianggap masalah atau merugikan kesejahteraan
masyarakat. Masalah sosial biasanya ditandai dengan klaim-klaim yang
bertentangan dari banyak orang dan kelompok kepentingan terhadap isu-isu
tertentu. Isu-isu tersebut termasuk pencemaran udara, kenakalan anak,
aborsi, kejahatan, perkosaan, diskriminasi ras dan etnik, pengangguran
dan korupsi. Walaupun penyimpangan sosial didefinisikan sebagai masalah
sosial, tetapi tidak semua masalah sosial adalah penyimpangan, di mana
aturan-aturan sosial telah dilanggar. Pada penyimpangan sosial pelaku
pelanggaran norma dapat ditemukan. Sementara dalam masalah sosial,
pelakunya dapat dikategorikan sebagai individu, jaringan organisasi atau
masyarakat itu sendiri. Termasuk di dalam studi penyimpangan sosial
adalah kriminologi. Penyimpangan sosial mempelajari perilaku dan mereka
yang dianggap sebagai pelanggar aturan. Sedangkan kriminologi adalah
studi tentang orang-orang yang melanggar aturan-aturan resmi yang
disebut hukum. Kejahatan adalah suatu perilaku yang dianggap sebagai
perilaku yang melanggar hukum. Ini adalah bentuk khusus perilaku
menyimpang yang secara formal dan resmi ditetapkan oleh penguasa. Banyak
jenis penyimpangan yang bukan kejahatan. Tetapi semua kejahatan adalah
penyimpangan. Misalnya sakit jiwa bisa dianggap penyimpangan tetapi
bukan kejahatan. Sosiolog yang mempelajari penyimpangan sosial dan
kriminologi mempunyai banyak kesamaan. Bahkan keduanya banyak meneliti
bentuk-bentuk penyimpangan kriminal maupun penyimpangan non kriminal.
Peneliti dari dua bidang ini memberikan perhatian pada sumber-sumber
perilaku menyimpang, reaksi terhadap individu dan reaksi institusi
terhadap perilaku menyimpang dan penyimpang, formasi kelompok penyimpang
dan sub kebudayaan penyimpang, serta sosialisasi ke dalam peran-peran
penyimpang. Walaupun dari sudut sejarah terdapat perbedaan mengenai
teori dan pengertian tentang isu-isu yang perlu dipelajari antara
penyimpangan sosial dan kriminologi, tetapi masih banyak sejumlah
persamaan dari keduanya. Studi penyimpangan sosial seringkali
menggunakan data-data kriminologi untuk mengilustrasikan secara teoritis
keberadaan perilaku menyimpang secara umum. Ada banyak persilangan
pemikiran antara penyimpangan sosial dan kriminologi. Beberapa sosiolog
menganggap penyimpangan sosial sebagai dasar penjelasan teoritik
terhadap kriminologi dan studi masalah sosial. Sementara sosiolog
lainnya lebih menitikberatkan pada perkembangan perspektif teoritis dan
model konseptual yang lebih khusus terhadap fenomena yang berbeda yang
dipelajari oleh masing-masing disiplin ilmu. Seperti juga subbahasan
sosiologi lainnya, studi penyimpangan sosial memberikan sumbangan
terhadap pemahaman lebih mendasar akan ciri-ciri masyarakat dan perilaku
manusia. Ia memberikan pemahaman terhadap variasi gambaran kehidupan
normal sehari-hari. Modul Sosiologi Perilaku Menyimpang ini sebagian
besar pembahasannya bersumber dari buku Sociology of Deviant Behaviour
karya Marshal B. Clinard dan Robert F. Meier. Sistematika penulisannya
juga mengikuti alur buku aslinya. Pembahasannya mencakup variasi dalam
pola sosialisasi, permainan peran, afiliasi kelompok, kelompok
organisasi, interaksi antara kelompok, gaya hidup, sikap, nilai,
kehidupan keluarga, kontrol sosial dan perubahan sosial. Semua itu
merupakan komponen masyarakat dan perilaku yang menjadi fokus perhatian
para sosiolog.
KORUPSI
Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh
Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan
pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem
peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia.
Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld
government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara
dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan
nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam
ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun,
pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat
untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat
seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi
antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.
Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan
sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan
pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan
dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden
tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan
korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian
dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu
indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan.
Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut
dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas
daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan
pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian
kuantitas.
ARAH
Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan
korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak
seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak
berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah
dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi
lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal
dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan
Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak
penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi
pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.
Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP.
Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah
perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara
maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana
kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari
norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi
seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut
tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak
menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan
tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.
Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor
terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah
SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik
penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi
ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih
baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang
yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan
hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada
prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
DISORIENTASI
Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi
kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan
perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini
tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal
seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain
belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu
jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan
UU.
Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan
penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar
menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi
batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan
hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil,
seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol
eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu
sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.
Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut
harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas
kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau
masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat
Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi
ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam
menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh
berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek”
dan seorang “intelektual”.
Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang
mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja
intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil
otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap
jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang
pengkritik masyarakat… dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru
bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan
menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang
ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi
keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku
ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan
bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para
pelaku ekonomi.
Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat
ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif
“pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh
oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan
jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti
dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan
bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh
dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial
budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam
kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala
terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).
Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum.
Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang
dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan
bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan
hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan
tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak
terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam
masyarakat Indonesia.
Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah
pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan
dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya,
seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun
untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang
telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.
Kezaliman dalam penegakan hukum harus segera dihentikan oleh siapa
pun terhadap siapa pun di negeri tercinta ini jika berniat menjadi
bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa,memelihara dan mempertahankan
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.(*)
No comments:
Post a Comment